Jumat, 12 Juli 2013

Makalah 'AM, KHAS, MUJMAL, dan MUBAYYAN



PENDAHULUAN
            Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara’ itu beraneka ragam. Bahkan, ada yang kurang jelas (khafa).
            Diantara dari lafazh-lafazh tersebut adalah lafazh ‘am, khas, mujmal dan mubayyan yang akan dibahas pada pembahasan selanjutnya. Lafazh 'am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafazh, di dalam lafazh itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan lafazh itu. sebagaimana kita katakan al insan (manusia), maka di dalam kata-kata al insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil maupun manusia besar, baik dia merdeka maupun dia masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
            Adakalanya lafazh umum itu ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan untuk itu, seperti lafazh “kullu, jami’u, dll. Di samping lafazh umum, terdapat pula suatu lafazh yang menunjukkan kepada khusus. lafazh khusus ini adalakalnya dipergunakan untuk seorang atau barang atau hal tertentu, seperti Abdullah, atau seperti radio dll. Berarti lafazh khas ini bisa dikatakan sebagai lafazh yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
            Suatu lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut dengan mubayyan atau nash. Jika mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun jika diketahui makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir.



PEMBAHASAN
  1. ‘AM
      1.      Pengertian ‘Am.
‘Am menurut bahasa ialah ‘merata, yang umum’ sedang menurut istilah ialah lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus.[1]
Lafazh ‘Am ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqh memberi definisi ‘am antara lain sebagai berikut:[2]
  1. Menurut ulama Hanafiyah lafazh ‘am ialah setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.
  2. Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali menyebutkan bahwa lafazh ‘am ialah satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.
2.    Macam-macam lafal ‘Am
a. lafal kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya). Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu.
     Contohnya:
a)         Kullun
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran [3]: 185)
b)         Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumi, semuanya.” (Q.S.al Baqarah [2]: 29)
c)         Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ [34] : 28)
d)         Ma’syar
“Hai sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak pernah datang kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari (kiamat) ini?” (QS. Al-An’am [6] : 131)

b.  Isim Istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan).
Contohnya:
a)         Man (siapa)
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah [2] : 245)

b)         Ma (apa)
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir [74] : 42)
c)         Ayyun (siapakah)
“Siapakah diantara kamu yang bisa membawa singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku sebelum mereka datang berserah diri.” (QS. An-Naml [27] : 38)

d)         Mata (kapan)
“Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)

e)         Aina (dimana)
أ ين مسكنك
“Dimanakah tempat tinggalmu?”

c.  Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja)
     Contohnya:
a)  Man (barang siapa)
 Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 123)
b)    Ma (apa saja)
        “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 272)
c)     Ayyun (mana saja) ; ayyuma (siapa saja) :(
“Dengan apa saja kamu seru Dia, maka ia mempunyai nama-nama yang baik.” (QS. Al-Isra’ [17] : 110)
أ يما ا مرأة سأ لت زو جحا الطالاق من غير ما بأس فحدام عليحا راءحة الجنة
Siapa saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram baginya harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)
d.   Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah potong tangannya.” (QS. Al-Maidah [5] : 38)
e.    Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Makrifat dengan alif lam (al)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5] : 42)
Makrifat dengan idhafah :
“Terlarang bagimu (mwngawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 23)

f.     Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi :
“Jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat) yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah [2] : 48)
g.    Isim maushul (alladzi, alladziina, allatina, ma)
“Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang itu makan apa pada perut mereka.” (QS. An-Nisa’ [4] : 10)
      3.   Kaidah beserta contohnya
          إ دا ورد العام عل سبب خاص فالعبرة بعموم اللفظ لا بجصوص السبب
          “Apabila ‘am datang karena sebab khash, yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan khusunya sebab”
            Karena perintah ibadah kepada seluruh hamba Allah hanya dengan lafal yang datang dari Syar’i padahal lafal ini umum, misalnya jika menjumpai suatu hadits Nabi Saw. yang merupakan jawaban atas sesuatu pertanyaan, tiba-tiba kita lihat bahwa jawaban itu menggunakan perkataan (lafal) yang memberikan pengertian umum pula, maka tidak usah kita kembalikan kepada sebab timbulnya hadits tersebut. Dalam hal ini kita mengambil kesimpulan hukum dari hadits tersebut.
            Contoh :
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw :
فإن توضأنا به عطشنا أفنتوضأ بماءالبحر’ فقال ص م ل هوالطهورماءوه والحل ميتته
“Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan, sedangkan bekal air hanya sedikit. Kalau berwudhu dengan air ini, tentu kita akan kehabisan air, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Nabi saw. lalu bersabda: “Laut itu airnya suci dan bangkai binatangnya halal (dimakan).”
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Akan tetapi, sesuai dengan kaidah di atas, maka pengertian jawaban Nabi saw. itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu berlaku, baik dalam keadaan memaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian yang umum.[3]
  

     B.     KHAS
1.         Pengertian Khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal. Sedangkan menurut Al-Bazdawi, khas adalah setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).[4]
Dapat disimpulkan juga bahwa, khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum. Atau menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.[5]
Dalam hal ini ada beberapa kata-kata yang erat sekali dengan khas, takhsis, mukhasis dan makhsus. Takhsis artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum ketika tidak ada yang menakhsis (mukhasis). Sedangkan mukhasis ialah: a) orang yang mempergunakan takhsis; b) dalil yang dipakai takhshish. Makhsus ialah ‘am yang sudah terkena takhshish.
2.         Macam-Macam Mukhasis
Mukhasis terbagi 2 macam, yaitu:
a.       Mukhasis muttasil
Mukhasis muttasil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan lafal sebelumnya.
Misalnya:
Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (QS. Al-An’am [6] :151)
Susunan Janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan membunuhnya itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh seorang pun, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu qishash atau di dalam pertempuran.[6]
Macam-macam mukhasis muttasil:[7]
a)      Pengecualian (Al-Istina)
Contoh:
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh.” (QS. Ashr [103] : 2-3)
b)      Syarat
...Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah...(QS. Albaqarah [2] :228)
c)      Sifat
Contoh :
ومن قتل مءومنا خطاأ فتحريررقبة مومنة
“...Dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba.” (QS. An-Nisa [4] :42)
d)     Kesudahan
Contoh :Ÿ
“....Dan janganlah kamu memdekati mereka, sebelum mereka suci...” (QS. Albaqarah [2] :222)
e)      Sebagian ganti keseluruhan
Contoh :
“...Mengerjakan haji adalah kewajiban terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...”(QS. Ali-Imran [3] : 97)
b.      Mukhasis Munfasil
Mukhasis munfassil yaitu berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan pengertian umum.
Contohnya :

“Dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al’a’raf [7] : 31)
                  Macam-macam mukhasis munfasil :
a)      Kitab di takhsis dengan kitab

“Wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al-Baqarah [2] : 228)
b)      Kitab di takhsis dengan sunnah

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.” (QS. An-Nisa [4] : 11)
c)      Sunnah di takhsis dengan kitab
لايقبل الله صلاة احدكم ادا احدث حتي يتوضأ
“Allah tidak menerima shalat salah seseorang diantara kamu bila masih berhadas hingga berwudhu’.”(HR. Bukhari Muslim)
d)     Sunnah di-takhsis dengan sunnah
فيما سقت السماء العشر
“Tanaman yangd dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (10%).” (HR. Bukhari – Muslim)
e)      Men-takhsis dengan qiyas
لي الوجد يحل عرضه وعقو بته
“Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum.” (HR. Ahmad)

3.         Pendapat Ulama
Menurut golongan Jumhur Ulama, antara lain Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khas itu dilalah-nya qath’i, namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal pemasangannya); sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khas itu. dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a. Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
b. Lafazh khas Al-Quran menurut pendapatnya tetao menerima penjelasan dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafadz mujmal. Oleh sebab itu, lafadz khash mungkin saja berubah melalui penjelasan; sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalah-nya dari segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu sendiri, seperti hadits ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas-nya tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih.
Contohnya: pengertian ruku’ pada ayat: 
واركعوا مع الراكعين
“Ruku’lah bersama-sama orang-orang yang ruku’.”
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat sebagaimana lafadz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum; yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan bahwa sesungguhnya ruku; yang diperintahkan pada ayat itu merupakan bagian fardhu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah. Sampai situ aja......   
C.      MUJMAL
1.      Pengertian Mujmal
Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas,yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak  ada keterangan lain yang menjelaskan. Penjelasan ini disebut albayan. Ketidakjelasan ini disebut ijmal.
2.      Contoh Lafal Mujmal
Contoh lafal yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
Perempuan yang diceraikan suaminya, menantikan iddahnya tiga quru.’”(Q.S. al-Baqarah[2]: 228).
Lafal quru’ ini disebut dengan mujmal karena mempunyai dua makna, yaitu haid dan suci. Kemudian mana di antara dua macam arti yang dikehendaki  oleh ayat tersebut maka diperlukan penjelasan, yaitu bayan. Ini adalah contoh yang  ijmal dalam lafal tunggal.
Contoh dalam lafal yang murakkah (susunan kata-kata) sebagai berikut:
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan.”(Q.S.Al-Baqarah [2]: 237).
Dalam ayat  tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapa yang di maksud orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud adalah suami atau wali. Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah maka diperlukan penjelasan (bayan).
Selain itu, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang  ihtimal (layak) menunjukkan dua segi, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لايمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة في جداره
“janganlah salah seorang di antara kamu menghargai tetangganya untuk meletakkan kayu pada dindingnya.”
Kata-kata nya  padda dindingnya tersebut masih mujmal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu kepada dinding orang itu atau kepada  tetangganya.

D.          MUBAYYAN
1.      Pengertian Mubayyan
Al-Bayan artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal. Mubayyan ialah lafal yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Jelasnya ialah:
البيان إخراج الشيء من حيزالإشكال إلي حيزا لتجلي
Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.”
2. Macam-macam Mubayyan:
a.       Mubayyan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
“Barang siapa yang tidak dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berouas tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari sempurna.” (Q.S.al-baqarah[2]: 196).
Lafal tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya sepuluh hari yang sempurna. Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
b. Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan haji:
صلواكمارأيتمو ني أصلي
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan sholat.”(H.R. Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c.      Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat sepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang  terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d.      Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang menerangkan:
كان اخرالامرين منه ص م عدم الوضوءمما مست ا لنار
“adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa yang dipanaskan api,”
Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi setiap kali selesai makan  daging yang dimasak.
e.       Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seorang yang bertanya ”Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan tiap tahun

 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
                  Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman atau penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Oleh karena banyaka ayat-ayat yang mengandung seperti ‘am, khas, mujmal dan mubayyan. Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut.

B.     Kritik dan Saran
Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian.




DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir. 2009. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta.
Rifa’i, Moh. 1973. Ushul Fiqh. Al M’arif: Bandung.
Syafei, Rahmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia: Bandung.
Bakri, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta. 


[1] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: Alma’arif, 1973) Cet. Ke-1, hal. 52
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushu Fiqh,  (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 193
[3] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, hal. 59
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushu Fiqh, 187
[5] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, hal. 59

[6] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, hal.65
[7] Basiq Djalil, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 87-89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar