PENDAHULUAN
Untuk menggali hukum terutama hukum
syariah, tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh
persen penggalian hukum syari’ah menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh
yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan
para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh
yang terdapat dalam nash syara’ itu beraneka ragam. Bahkan, ada yang
kurang jelas (khafa).
Diantara dari lafazh-lafazh tersebut
adalah lafazh ‘am, khas, mujmal dan mubayyan yang akan dibahas pada pembahasan
selanjutnya. Lafazh 'am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafazh, di
dalam lafazh itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan lafazh
itu. sebagaimana kita katakan al insan (manusia), maka di dalam
kata-kata al insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik
manusia kecil maupun manusia besar, baik dia merdeka maupun dia masuk golongan
budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
Adakalanya lafazh umum itu
ditentukan dengan lafazh yang telah disediakan untuk itu, seperti lafazh “kullu,
jami’u”, dll. Di samping lafazh umum, terdapat pula suatu lafazh
yang menunjukkan kepada khusus. lafazh khusus ini adalakalnya dipergunakan
untuk seorang atau barang atau hal tertentu, seperti Abdullah, atau seperti
radio dll. Berarti lafazh khas ini bisa dikatakan sebagai lafazh yang tidak
meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa
menghendaki kepada batasan.
Suatu lafazh yang mempunyai makna
tertentu, dan tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut dengan mubayyan
atau nash. Jika mempunyai dua makna atau lebih tanpa dapat diketahui
makna yang lebih kuat disebut mujmal. Namun jika diketahui makna yang
lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir.
PEMBAHASAN
- ‘AM
1. Pengertian
‘Am.
‘Am
menurut bahasa ialah ‘merata, yang umum’ sedang menurut istilah ialah lafal yang meliputi pengertian umum terhadap
semua apa yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut
sekaligus.[1]
Lafazh ‘Am ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu
makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Para ulama Ushul Fiqh memberi definisi ‘am antara lain sebagai berikut:[2]
- Menurut ulama Hanafiyah lafazh ‘am ialah setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.
- Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali menyebutkan bahwa lafazh ‘am ialah satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.
2.
Macam-macam lafal ‘Am
a.
lafal kullun, jami’un, kaaffah,
ma’asyar (artinya seluruhnya). Masing-masing lafal
tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu.
Contohnya:
a)
Kullun
“Tiap-tiap
(seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali
Imran [3]: 185)
b)
Jami’un
“Dialah Allah yang
menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumi, semuanya.” (Q.S.al
Baqarah [2]: 29)
c)
Kaaffah
“Dan
kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.”
(QS. Saba’ [34] : 28)
d)
Ma’syar
“Hai
sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak
pernah datang kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan
kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan
hari (kiamat) ini?” (QS. Al-An’am [6] : 131)
b.
Isim
Istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina
(dimana), ayyun (siapakah), dan mata (kapan).
Contohnya:
a)
Man (siapa)
“Siapakah
yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS.
Al-Baqarah [2] : 245)
b)
Ma (apa)
“Apa
sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir [74] :
42)
c)
Ayyun (siapakah)
“Siapakah diantara kamu yang bisa
membawa singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku sebelum mereka datang
berserah diri.” (QS. An-Naml [27] : 38)
d)
Mata (kapan)
“Kapan
datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat
dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)
e)
Aina (dimana)
أ
ين مسكنك
“Dimanakah
tempat tinggalmu?”
c. Isim syarat, seperti man (barang
siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja)
Contohnya:
a)
Man (barang siapa)
Barang siapa mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS.
An-Nisa’ [4] : 123)
b) Ma (apa
saja)
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan
sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS. Al-Baqarah
[2] : 272)
c) Ayyun (mana
saja) ; ayyuma (siapa saja) :(
“Dengan
apa saja kamu seru Dia, maka ia mempunyai nama-nama yang baik.”
(QS. Al-Isra’ [17] : 110)
أ يما ا مرأة سأ لت زو جحا الطالاق من
غير ما بأس فحدام عليحا راءحة الجنة
“Siapa
saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram
baginya harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)
d.
Isim Mufrad
yang makrifat dengan
alif lam (al) atau idhafah:
“Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengaharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2] :
275)
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah potong tangannya.” (QS.
Al-Maidah [5] : 38)
e.
Jama’ yang
dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Makrifat dengan alif lam (al)
“Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5] : 42)
Makrifat dengan idhafah :
“Terlarang
bagimu (mwngawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 23)
f. Isim
Nakirah
yang terletak sesudah Nafi :
“Jagalah
dirimu dari (azab) hari (kiamat) yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat
membela orang lain walau sedikit pun.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 48)
g. Isim
maushul (alladzi, alladziina, allatina, ma)
“Sesungguhnya
orang-orang yang makan harta anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang itu makan
apa pada perut mereka.” (QS. An-Nisa’ [4] : 10)
3. Kaidah beserta contohnya
إ دا ورد العام عل
سبب خاص فالعبرة بعموم اللفظ لا بجصوص السبب
“Apabila ‘am datang karena sebab khash, yang
dianggap adalah umumnya lafal, bukan khusunya sebab”
Karena perintah ibadah kepada
seluruh hamba Allah hanya dengan lafal yang datang dari Syar’i padahal lafal
ini umum, misalnya jika menjumpai suatu hadits Nabi Saw. yang merupakan jawaban
atas sesuatu pertanyaan, tiba-tiba kita lihat bahwa jawaban itu menggunakan
perkataan (lafal) yang memberikan pengertian umum pula, maka tidak usah kita
kembalikan kepada sebab timbulnya hadits tersebut. Dalam hal ini kita mengambil
kesimpulan hukum dari hadits tersebut.
Contoh :
Seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw :
فإن
توضأنا به عطشنا أفنتوضأ بماءالبحر’ فقال ص م ل هوالطهورماءوه والحل ميتته
“Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan,
sedangkan bekal air hanya sedikit. Kalau berwudhu dengan air ini, tentu kita
akan kehabisan air, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Nabi saw. lalu
bersabda: “Laut itu airnya suci dan bangkai binatangnya halal (dimakan).”
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa
(darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa maka hukum air laut
dan bangkai binatangnya tidak demikian. Akan tetapi, sesuai dengan kaidah di
atas, maka pengertian jawaban Nabi saw. itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu
berlaku, baik dalam keadaan memaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena
ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian yang umum.[3]
B. KHAS
1.
Pengertian Khas
Khas
adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui
(ma’lum) dan manunggal. Sedangkan menurut Al-Bazdawi, khas adalah setiap lafazh
yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain
yang (musytarak).[4]
Dapat
disimpulkan juga bahwa, khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti
sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum. Atau menunjukkan satu jenis,
seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.[5]
Dalam
hal ini ada beberapa kata-kata yang erat sekali dengan khas, takhsis,
mukhasis dan makhsus. Takhsis artinya menentukan, yakni mengeluarkan
sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum ketika tidak ada yang menakhsis
(mukhasis). Sedangkan mukhasis ialah: a) orang yang mempergunakan takhsis; b)
dalil yang dipakai takhshish. Makhsus ialah ‘am yang sudah terkena takhshish.
2.
Macam-Macam Mukhasis
Mukhasis
terbagi 2 macam, yaitu:
a.
Mukhasis muttasil
Mukhasis
muttasil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan lafal
sebelumnya.
Misalnya:
“Dan janganlah
kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan (membunuhnya),
kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (QS. Al-An’am [6] :151)
Susunan
Janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan
membunuhnya itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh seorang pun,
kecuali dengan jalan yang benar, yaitu qishash atau di dalam
pertempuran.[6]
Macam-macam
mukhasis muttasil:[7]
a)
Pengecualian
(Al-Istina)
Contoh:
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal sholeh.” (QS. Ashr [103] : 2-3)
b)
Syarat
“...Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki islah...(QS. Albaqarah [2] :228)
c)
Sifat
Contoh
:
ومن قتل مءومنا خطاأ فتحريررقبة مومنة
“...Dan barang
siapa membunuh orang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba.” (QS. An-Nisa [4] :42)
d)
Kesudahan
Contoh
:
“....Dan
janganlah kamu memdekati mereka, sebelum mereka suci...”
(QS. Albaqarah [2] :222)
e)
Sebagian ganti
keseluruhan
Contoh
:
“...Mengerjakan
haji adalah kewajiban terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah...”(QS. Ali-Imran [3] :
97)
b.
Mukhasis Munfasil
Mukhasis
munfassil yaitu berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang memberikan pengertian
umum.
Contohnya
:
“Dan
makan serta minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS.
Al’a’raf [7] : 31)
Macam-macam
mukhasis munfasil :
a)
Kitab di takhsis dengan
kitab
“Wanita-wanita
yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”
(QS. Al-Baqarah [2] : 228)
b)
Kitab di takhsis dengan
sunnah
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.” (QS.
An-Nisa [4] : 11)
c)
Sunnah di takhsis dengan
kitab
لايقبل الله صلاة احدكم ادا احدث حتي
يتوضأ
“Allah tidak
menerima shalat salah seseorang diantara kamu bila masih berhadas hingga
berwudhu’.”(HR. Bukhari Muslim)
d)
Sunnah di-takhsis
dengan sunnah
فيما سقت السماء العشر
“Tanaman yangd
dengan siraman hujan, (zakatnya) adalah seper sepuluh (10%).” (HR.
Bukhari – Muslim)
e)
Men-takhsis dengan
qiyas
لي الوجد يحل عرضه وعقو بته
“Menunda-nunda
pembayaran bagi orang yang mampu, halal dilanggar kehormatannya dan boleh
dihukum.” (HR. Ahmad)
3.
Pendapat Ulama
Menurut
golongan Jumhur Ulama, antara lain Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengambil
pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khas itu dilalah-nya qath’i,
namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal
pemasangannya); sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah
khas itu. dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat
pertama, yaitu:
a.
Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
b.
Lafazh khas Al-Quran menurut pendapatnya tetao menerima penjelasan dan
perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafadz mujmal. Oleh sebab itu, lafadz
khash mungkin saja berubah melalui penjelasan; sungguhpun penjelasan itu
kekuatan dilalah-nya dari segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu
sendiri, seperti hadits ahad.
Perbedaan
pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas-nya tersebut berpengaruh
terhadap beberapa masalah fiqih.
Contohnya:
pengertian ruku’ pada ayat:
واركعوا مع الراكعين
“Ruku’lah bersama-sama orang-orang yang ruku’.”
Ulama
Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat sebagaimana lafadz khas untuk
suatu perbuatan yang ma’lum; yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan
bahwa sesungguhnya ruku; yang diperintahkan pada ayat itu merupakan bagian
fardhu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah. Sampai situ
aja......
C.
MUJMAL
1.
Pengertian
Mujmal
Mujmal
ialah suatu lafal yang belum jelas,yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya
apabila tidak ada keterangan lain yang
menjelaskan. Penjelasan ini disebut albayan.
Ketidakjelasan ini disebut ijmal.
2.
Contoh Lafal Mujmal
Contoh lafal
yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
“Perempuan yang diceraikan
suaminya, menantikan iddahnya tiga quru.’”(Q.S. al-Baqarah[2]: 228).
Lafal
quru’ ini disebut dengan mujmal karena
mempunyai dua makna, yaitu haid dan suci. Kemudian mana di antara dua macam
arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut
maka diperlukan penjelasan, yaitu bayan. Ini
adalah contoh yang ijmal dalam lafal tunggal.
Contoh dalam
lafal yang murakkah (susunan
kata-kata) sebagai berikut:
“Atau
orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan.”(Q.S.Al-Baqarah
[2]: 237).
Dalam
ayat tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapa yang di
maksud orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang
dimaksud adalah suami atau wali. Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua
itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah maka diperlukan penjelasan (bayan).
Selain
itu, ada lagi mujmal pada tempat
kembalinya dhamir yang ihtimal (layak) menunjukkan dua
segi, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لايمنع
أحدكم جاره أن يضع خشبة في جداره
“janganlah salah
seorang di antara kamu menghargai tetangganya untuk meletakkan kayu pada
dindingnya.”
Kata-kata
nya padda dindingnya tersebut masih mujmal artinya belum jelas, apakah
kembalinya itu kepada dinding orang itu
atau kepada tetangganya.
D.
MUBAYYAN
1. Pengertian
Mubayyan
Al-Bayan
artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan
lafal atau susunan yang mujmal. Mubayyan ialah lafal yang terang maksudnya
tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.
Jelasnya ialah:
البيان
إخراج الشيء من حيزالإشكال إلي حيزا لتجلي
“Bayan
ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang
jelas.”
2. Macam-macam Mubayyan:
a. Mubayyan
dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
“Barang siapa yang tidak
dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berouas tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari sempurna.”
(Q.S.al-baqarah[2]: 196).
Lafal
tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan tujuh
yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya sepuluh hari yang sempurna.
Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
b. Bayan dengan perbuatan; seperti
penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan haji:
صلواكمارأيتمو ني
أصلي
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan
sholat.”(H.R.
Bukhari).
Cara
shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan
sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c.
Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan
Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada
sahabat beliau dengan mengangkat sepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari.
Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu
kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d.
Bayan dengan
meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang menerangkan:
كان اخرالامرين منه ص م عدم
الوضوءمما مست ا لنار
“adalah akhir dua
perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa yang dipanaskan api,”
Hadits ini sebagai
penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi setiap kali
selesai makan daging yang dimasak.
e.
Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi
saw menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seorang yang bertanya ”Apakah
setiap tahun ya Rasulullah?”
Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti
menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan tiap tahun
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita
simpulkan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya
memberikan pemahaman atau penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan
tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk
memahamkannya. Oleh karena banyaka ayat-ayat yang mengandung seperti ‘am, khas,
mujmal dan mubayyan. Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa
mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan
langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut.
B. Kritik
dan Saran
Kami sebagai penulis mohon maaf
atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah kami ini, dan kami
sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifudin,
Amir. 2009. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta.
Rifa’i,
Moh. 1973. Ushul Fiqh. Al M’arif: Bandung.
Syafei,
Rahmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia: Bandung.
Bakri,
Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Djalil,
Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar