Jumat, 12 Juli 2013

Makalah Klasifikasi Hadist berdasarkan kualitas rawinya



PENDAHULUAN



                                                                                                                              
            Dalam skema dapat dipahami, bahwa hadits dilihat dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud, hadits maqbul terbagi menjadi dua mutawatir dan ahad yang shahih dan hasan baik lidzatihi maupun lighayrihi sedang hadits mardud ada satu yaitu hadits dha’if.
            Hadits mutawatir memberikan pengertian yakin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad saw., bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta kepada Rasulullah Saw., karena kebenaran sumber-sumbernya telah meyakinkan, maka hadits mutawatir ini harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad, maupun matannya.
            Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat kebenarannya) mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun terhadap matannya, sehingga status ahad tersebut menjadi jelas, apakah bisa diterima sebagai hujjah atau ditolak.[1]

PEMBAHASAN
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS RAWINYA
A.           Hadits Shahih
1.      Pengertian hadits shahih
Menurut bahasa hadits shahih adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit.[2] sedangkan menurut istilah yang didefenisikan oleh ulama al-mutaakhirin hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan berilat.[3]
Kesimpulannya hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya  selamat dari kejanggalan dan ‘illat.[4]
2.      Syarat-syarat hadits shahih
a.       Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung seperti itu sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi dapat dikatakan bahwa rengkaian para perawi hadis shahih sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis langsung dari nabi Muhammad saw bersambung dari periwatannya.[5] Persambungan sanad dalam periwayatan ada 2 macam lambang yang digunakan oleh para periwayat:
1)      Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Seperti:
سمعت = aku mendengar
حدثني |  أخبرني | حد ثنا | أخبرنا = memberitakan kepadaku/kami
رأيت فلانا = aku melihat si Fulan, dan lain-lain
Jika dalam periwayatan sanad hadits menggunakan kalimat tersebut atau sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (bersambung)

2)      Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
قال فلان | عن فلان | فعل فلان = si Fulan berkata :..../ dari si Fulan / si Fulan melakukan begini
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui benar apakah ia bertemu dengan syaikhnya atau tidak.

Untuk mengetahui persambungan atau tidaknya suatu sanad dapat dicek dan diperiksa melalui dua teknik:
1)      Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca terlebih dahulu biografi para perawi hadits dalam buku-buku Rijial Al-hadits atau Tawarikh Ar-Ruwah, terutama dari segi kelahiran dan kewafatannya.
2)      Keterangan seorang perawi atau imam hadits bahwa seorang perawi bertemu atu tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan periwayatan atau tidak melihat. Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas keberadaan sanad.[6]
b.      Perawinya adil
Kata adil menurut bahasa adalah lurus, tidak berat sebelah, tidak zhalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur.[7] Sedangkan menurut istilah adalah orang yang konsisten (istiqomah) dalm beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak melakukan muru’ah.[8]

Syarat-syaratnya adalah:
1)      Islam
2)      Baligh
3)      Mukallaf
4)      Melaksanakan ketentuan agama
5)      Memelihara muru’ah[9]
c.       Perawinya dhabit
Kata dhabit menurut bahasa yyang kokoh, yang kuat. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kepada orang lain. Dhabit terbagi dua macam yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi alkitab.
d.      Tidak Syadz
Menurut Syafi’i Syadz adalah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lainyang lebih kuat atau lebih tsiqah.[10]
e.       Tidak ada ‘illat
Menurut bahasa ‘illat adalah penyakit, sebab, alasan, uzur, cacat, keburukan, dan kesalahan bacaan. Sedangkan menurut istilah suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar sehingga dapat merusak keabsahan suatu hadits padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.[11]
Contoh hadits shahih :
ما أخرجه البخا رى قال حد ثنا مسدد حد ثنا معتمر قال : سمعت أبي قال : سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول : اللحم إني أعود بك من العجزوالكسل, والجبن والحرم, وأعود بك من فتنة المحيا والممات, وأعود بك من عداب القبر
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami Musaddad, memberitakan kepada kami Mu’tamir ia berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi Saw. berdoa: “Ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan mati dan aku mohon perlindnungan kepada Engkau dari azab kubur,”
Hadits di atas dinilai berkualitas shahih karena telah memenuhi 5 kriteria di atas, yaitu sebagai berikut:
a.       Sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir. Anas seorang sahabat yang mendengar hadits ini dari Nabi langsung. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya Mu’tamir menegaskan dengan kata as-sama’ (mendengar) dari Anas. Demikian juga menegaskan dengan as-sama’ dari ayahnya. Mussadad syaikhnya Al-Bukhari juga menegaskan dengan kata as-sama’ dari Mu’tamir, sedang Al-Bukhari menegaskan pula dengan as-sama’ dari syaikhnya.
b.      Semua para perawi dalam sanad hadits di atas menurut ulama al-jarhwa at-ta’dil telah memenuhi persyaratan adil dan dhabit. Anas bin Malik seorang sahabat semua semua sahabat bersifat adil. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya Mu’tamir bersifat terpercaya dan ahli ibadah. Musaddad bin Musarhad memiliki titel terpercaya dan penghafal. Sedang Al-Bukhari Muhammad bin Isma’il, pemilik kita Ash-Shahih terkenal memiliki kecerdasan hafalan yang luar biasa dan menjadi Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits.
c.       Hadits di atas tidak syadz, karena tidak bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah.
d.      Dan tidak terdapat ‘illah (ghayr mu’allal).

3.      Macam-macam hadits shahih
a.      Shahih lidzati (shahih dengan sendirinya) ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi.
b.      Shahih lighayrih (shahih karena yang lain) ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan hadits shahih akan tetapi naik derajatnya menjadi hadits shahih karena ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada di dalamnya.[12]
4.      Kehujahan hadits shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadits dan sebagian ulama ushul dan fiqih. Hadits shahih lighayrih lebih tinggi derajatnya dari pada Hasan lidzati, tetapi lebih rendah dari pada shahih lidzati. Sekalipun demikian ketiganya dapat dijadikan hujah.[13]
5.      Tingkatan Shahih
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari tingkat tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah:
a.       Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim;
b.      Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja;
c.       Diriwayatkan oleh Muslim saja;
d.      Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim;
e.       Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja;
f.       Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja;
g.      Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
B.            Hadits Hasan
1.      Pengertian hadits hasan
Menurut bahasa kata hasan diambil kata al-husnu bermakna al-jamal yang artinya keindahan. Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘ilat.[14]

2.      Syarat-syarat hadits hasan
a.       Sanadnya bersambung;
b.      Perawinya adil;
c.       Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an hadits shahih;
d.      Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
e.      Tidak ada ‘ilat.
Contoh hadits hasan:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda :
أعما ر أمتي ما بين الستين إلي السبعين إلي السبعين وأقلحم من يجوز دلك
“Usia umatku sekitar antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian.”
Para perawi hadits di atas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah shaduq = sangat benar. Oleh para ulama hadits nilai ta’dil sahduq tidak mencapai dhabit tamm sekalipun telah mencapai keadilan, ke-dhabit-annya kurang sedikit jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.
3.      Macam-macam hadits hasan
a.       Hasan lidzatihi adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan
b.      Hasan lighayrihi adalah hadits hasan yang tidak memenuhi hadits hasan secara sempurna.[15]
4.      Kehujahan hadits hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih. Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu hibban, dan Ibnu Khuzaimah.[16]
C.            Hadits Dhaif
1.      Pengertian
Menurut bahasa dhaif artinya lemah lawan dari kata kuat. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat  hadits shahih dan hadits hasan.[17]
Contoh hadits dhaif:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:
من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل عل محمد
“Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam sanad hadits di atas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahzhib memberikan komentar : فيه لين = padanya lemah.
2.      Macam-macam hadits dhaif
a.       Dhaif dari segi bersambung sanadnya, yaitu:
1)      Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin.
2)      Hadits munqati’ ialah hadits yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang gugur atau pada sanad tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya
3)      Hadits mu’dal ialah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
b.      Dhaif dari segi sandarannya
1)      Hadits mauquf ialah hadits yang disandarkan pada sahabat
2)      Hadist maqtu’ ialah hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan kepadanya baik perkataan maupun perbuatannya.
c.       Dhaif dari segi-segi lainnya
1)      Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
2)      Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya) atau nampak kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.
3)      Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul akan tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
4)      Hadits maqlub ialah hadits yang lafalnya tertukar pada salah seseorang dari sanadnya atau nama seseorang sanadnya, kemudian mendahulukan penyebutannya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan penyebutan yang seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu pada tempat yang lain.





PENUTUP

       A.    Kesimpulan

Hadits shahih, hasan dan dhaif adalah pembagian dari hadits ahad. Hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya  selamat dari kejanggalan dan ‘illat.  Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘ilat. Dan hadits dhaif adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat  hadits shahih dan hadits hasan.

      B.     Kritik dan saran

Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian.



DAFTAR PUSTAKA

-          As-Shalih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
-          Majid Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Bumi Aksara: Jakarta
-          Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Pustaka Setia: Bandung
-          Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. R




[1] Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hal. 141
[2] M. Agus Solahudin, M.Ag. dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) cet. I, hal. 141
[3] Mudasir, Op. Cit. hal. 144-145
[4] Abdul majid Khon, M.Ag, ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009)
[5] Mudasir, Op. Cit. Hal. 145-146
[6] Abdul Majid, Op. Cit.
[7] Mudasir, Op. Cit. hal. 146
[8] Abdul Majid, Op. Cit.

[9] M. Agus Solahudin, M.Ag. dkk, Op. Cit., hal. 142
[10] Mudasir, Op. Cit. hal. 147
[11] Abdul Majid, Op. Cit.

[12] Mudasir, Op. Cit. hal. 148-149
[13] Abdul Majid, Op. Cit.
[14] Ibid.
[15] Mudasir, Op. Cit. hal. 154
[16] Abdul Majid, Op. Cit.
[17] Mudasir, Op. Cit. hal. 156